Sejarah Konflik Thailand vs Kamboja: Dendam Turun-Temurun Ribuan Tahun

Hubungan antara Thailand dan Kamboja tidak hanya dibentuk oleh kedekatan geografis, tetapi juga oleh sejarah panjang yang diwarnai oleh konflik, perebutan wilayah, dan perebutan pengaruh budaya. Meski kini keduanya adalah anggota ASEAN dan sering menjalin kerja sama regional, akar perselisihan mereka menjalar jauh ke masa lampau — bahkan hingga ribuan tahun lalu.

Akar Sejarah: Pengaruh Kekaisaran dan Kerajaan Kuno

Konflik antara Thailand dan Kamboja memiliki akar dalam zaman kerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara. Sekitar abad ke-9 hingga ke-15, wilayah yang sekarang menjadi Kamboja merupakan pusat dari Kekaisaran Khmer, salah satu peradaban terbesar di Asia Tenggara, yang terkenal dengan kompleks kuil Angkor Wat. Pada masa jayanya, kekuasaan Khmer meluas ke wilayah yang sekarang adalah Thailand, Laos, dan Vietnam.

Namun pada abad ke-13 hingga ke-15, muncul Kerajaan Ayutthaya di wilayah Thailand modern. Kerajaan ini berkembang pesat dan mulai menantang dominasi Khmer. Pada 1431, pasukan Ayutthaya menyerang dan merebut ibu kota Khmer, Angkor Thom. Penaklukan ini menjadi titik balik dalam sejarah regional dan simbol awal konflik kekuasaan antara kedua bangsa.

Perebutan Wilayah dan Budaya

Selama berabad-abad setelah kejatuhan Angkor, wilayah-wilayah di perbatasan seperti Siem Reap, Battambang, dan Sisophon menjadi rebutan antara kerajaan-kerajaan Thailand dan Kamboja. Kamboja sering berada di posisi yang lebih lemah dan pada abad ke-18 hingga ke-19, wilayah barat Kamboja secara de facto berada di bawah kendali Siam (nama lama Thailand).

Perebutan pengaruh ini tidak hanya bersifat politik dan militer, tetapi juga budaya. Banyak artefak Khmer yang dipindahkan ke Thailand, dan hal ini masih menjadi sumber ketegangan hingga hari ini. Beberapa tokoh nasionalis Kamboja menuduh Thailand “mencuri” warisan budaya mereka.

Peran Kolonialisme dan Garis Batas Modern

Konflik ini semakin kompleks dengan masuknya kekuatan kolonial. Pada akhir abad ke-19, Prancis menjajah Kamboja sebagai bagian dari Indochina Prancis. Prancis kemudian memaksa Siam untuk menyerahkan wilayah Kamboja barat pada 1907, yang membuat Thailand kehilangan daerah yang pernah dikuasainya. Ini menimbulkan ketegangan diplomatik yang berkepanjangan.

Pasca kemerdekaan Kamboja (1953), ketegangan dengan Thailand muncul kembali, terutama terkait batas negara yang diwariskan dari era kolonial. Perselisihan paling menonjol adalah mengenai kuil Preah Vihear, sebuah situs suci di perbatasan yang diklaim oleh kedua negara.

Kuil Preah Vihear: Simbol Konflik Modern

Kuil Preah Vihear menjadi simbol nasionalisme dan sumber konflik yang berkelanjutan. Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa kuil tersebut berada di wilayah Kamboja. Namun, keputusan ini tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik karena batas wilayah sekitarnya masih diperdebatkan.

Ketegangan meningkat kembali pada tahun 2008 setelah UNESCO menetapkan kuil itu sebagai Situs Warisan Dunia atas permintaan Kamboja. Thailand merasa keputusan itu sepihak dan memicu bentrokan militer kecil di perbatasan. Insiden serupa terjadi beberapa kali antara 2008 dan 2011, dengan korban tewas dari kedua belah pihak.

Nasionalisme dan Sentimen Rakyat

Di kedua negara, nasionalisme memainkan peran penting dalam mempertahankan sentimen permusuhan. Banyak warga Kamboja yang menganggap Thailand sebagai penjajah budaya dan wilayah. Sementara itu, beberapa warga Thailand memandang Kamboja sebagai bangsa yang tidak menghargai sejarah bersama dan sering memanfaatkan konflik untuk kepentingan politik domestik.

Pada tahun 2003, terjadi kerusuhan besar di Phnom Penh setelah laporan media yang menyebutkan bahwa seorang artis Thailand mengklaim Angkor Wat sebagai milik Thailand. Kedutaan besar Thailand dibakar, dan banyak properti milik orang Thailand dirusak. Hubungan diplomatik sempat membeku selama beberapa bulan.

Upaya Perdamaian dan Hubungan Masa Kini

Meskipun sejarah panjang konflik dan ketegangan masih membekas, kedua negara telah beberapa kali mencoba meredakan situasi. Melalui mediasi internasional, pertemuan ASEAN, dan dialog bilateral, Thailand dan Kamboja telah mencoba memperbaiki hubungan.

Pada 2013, Mahkamah Internasional kembali memperjelas bahwa daerah sekitar kuil Preah Vihear juga harus dikosongkan oleh pasukan Thailand, memperkuat klaim Kamboja. Sejak itu, situasi perlahan membaik, meski retorika nasionalis masih muncul dari waktu ke waktu.

Kesimpulan: Luka Lama yang Belum Pulih

Konflik antara Thailand dan Kamboja bukan sekadar sengketa wilayah. Ia adalah hasil dari sejarah panjang perebutan kekuasaan, warisan kolonial, dan sentimen nasionalisme yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Meskipun tidak sedang berada dalam perang terbuka, luka lama ini terus mempengaruhi hubungan kedua negara.

Upaya rekonsiliasi dan kerja sama regional tetap penting untuk mencegah konflik kembali meletus. Namun, selama narasi dendam masa lalu masih dijadikan alat politik domestik, bayang-bayang sejarah itu akan terus membayangi masa depan hubungan Thailand-Kamboja.

Baca Juga: Keyakinan Muhammad Ardiansyah: Satu Penyelamatan, Satu Tiket Final